Sabtu, 30 November 2013

Cinta Tak Pernah Salah


          Cerita ini bukanlah kisah sejatiku, aku hanya ingin menyampaikan sebuah ibrah dari pengalaman seseorang yang pernah menceritakan kisahnya kepadaku, dan inilah kisah sejatinya:
          Jodoh sungguh unik, jika tidak boleh dinyatakan sebagai misteri. Ia memang hak prerogatif Sang Pencipta. Orang bisa menebak, dapat pula menolak, tapi kadang hasilnya menjebak. Benci menjadi rindu, suka berbalik sembilu. Yang dekat dan begitu lekat, terpisah karena kejadian sederhana. Yang jauh, baik dalam jiwa maupun raganya, menyatu karena hal yang tak kalah sepele. Inilah jodoh, pemberi makna pada kehidupan. Fenomenanya melahirkan cinta.
          Kecintaannya menjadikan langgengnya semangat setiap manusia. Selayakny asetiap orang belajar dari sang guru dalam berinteraksi dengan jodoh. Guru yang disediakan – Nya terserak di sekeliling. Guru yang terlampaui bersama waktu, dan asap baru terlihat setelah waktu telah terlewat. Guru yang dikenal dengan nama lainnya, “pengalaman”. Sehingga, orang tak lagi mudah memaksakan diri. Mencintai adalah fitrah. Mencintai adalah hak insani.
          Namun, memiliki dan berjodoh, lain cerita, lain lagi jawabannya. Tiga tahun lebih kehidupanku terlewati bersama pernik dosa. Dosa yang sering disusul dengan permohonan ampunan .Hanya sayangnya, kembali terulang dan terulang. Semua bermula ketika mata tak sempurna terjaga. Pandangannya sering nanar, mencari sesutu yang enak dilihat meski belum tepat dinikmati. Terlebih, kadang diri lupa, di sekeliling kita banyak makhluk penggoda. Satu langkah keburukan, bisa berwujud menjadi dua langkah, mengingat pihak di seberang sana juga tergoda melakukan hal serupa.
          Dapat pula satu langkah itu menjadi sepuluh langkah, saat kaki kita berhasil di gelincirkan oleh makhluk itu. Dan, tentu akan buruk lagi saat pihak yang sama juga mengalami hal serupa. Kedekatan yang entah disengaja atau tidak ini membawa semuanya melangkah lebih jauh. Sering berinteraksi menjadikan kemungkinan kedepan kian mengkhawatirkan. Dari sekedar bertukaran catatan, sampai kadang timbul keinginan untuk berdua. Awalnya, semua bisa ditepis. Apalagi kedekatan lawan jenis sebelum ijab Kabul terucap, tidak ada dalam kamusku. Hanya seiring berjalannya waktu, pergerakan itu kian tak terkendali.
          Membuat tangis tak sudah - sudah. Di satu sisi, mampu berdiri di podium mengingatkan sesuatu, namun di sisi lain turut melnggarnya. Satu saat fasih bertutur pentingnya penjagaan hati, tapi disisi lain turut mengotori. Tentu dalam kondisi tak nyaman ini, ada langkah yang diambil. Tak putus – putus pula doa dipanjatkan. Agar lingkaran inis egera putus, agar solusi itu segera terwujud. Namun, semua bukan tanpa penghalang. Saat harapan itu akan terbit, muncul tantangan yang bagiku lebih mirip disebut hambatan.
          Orangtua pihak perempuan tidak melihat sisi ideal dalamdiri ini yang membuat mereka tenang mengamanahi putrinya. Seolah menyisakan sebersit tanya, untuk apa aku kemudian berbuat sekeras ini? Hhh…, entahlah!
Dalam asa yang nyaris putus, kembali Tanya terucap. Jalan mana lagi yang layak ditempuh? Melihat sekeliling, dan kembali terjebak dalam keruwetan yang sama? Ku rasa tidak. Melanjutkan langkah yang bahkan cahaya dalam ujung gelapnya tidak terlihat? Tampaknya juga bukan langkah yang bijak. Puncaknya, di tengah kegalauan dan tiadanya titik temu ini, keputusan bijak diambil oleh pihak ‘dia’. Selembar surat yang mengabarkan pernikahannya dengan seorang lelaki lain mendarat di jemariku.
          Ada haru biru bermunculan, ada perasaan campur aduk silih berganti. Akhirnya, derita tahunan dan rentanan dosa ini akan segera berakhir. Karena memang betul, jika tidak di akhiri seperti ini, peluang terulang itu tetap ada. Tapi, siapa  yang tidak sedih, mengingat hati itu sempat tertahut? Sebuah kelegaan yang teriring dengan kesempitan. Lalu, bagaimana denganku? Aku pun ingin menikmati ketulusan cinta secara jantan, dalam cara yang halal. Dalam bautan naungan kesucian pernikahan. Kini, aku nyaris menghadapi pepesan kosong. Jika engaku dalam posisiku, yakinkah engkau jalan keluar itu ada? Lantas, bagaimana seharusnya cara menempuhnya? Saat kondisi jiwa sudah seperti ini, dan kini harus kembali mencari? Yang ada dalam benakku kala itu, hampir tidak terlihat.
          Tapi,  setiap orang berhak atas kesempatan kedua, bukan? Berhak untuk mendapatkan jalan yang lebih baik. Dan, diam menunggu bukanlah pilihannya. Ku coba berpikir dengan polapikir ‘aku’ di saat seperti ini. Jika  ‘dia’  telah menemukan jalannya, kenapa ‘aku’ tidak? Minimal, hikmah yang ku dapat dari semua ini tampak pada persetujuan dan visi dari orangtuaku. Beliau berdua yang pada awalnya berprinsip berbeda, hingga ku pahami, sebuah metode lain dalam mencari pasangan.
          Prinsip utamanya perkenalan sebelum dan sesudah pernikahan bukanlah hal yang sama. Seseorang yang kita kenal baik sebelum pernikahan, belum tentu akan menjadi pasangan yang baik sesudahnya. Logikanya mirip dengan dua orang yang merupakan kawan akrab, belum tentu memiliki hubungan yang kompak saat berposisi sebagai rekan. Simpel dan logis bukan?! Hanya, bisakah cinta di tempuh dengan jalan ini? Jika pertanyaan itu di ajukan padaku kala itu, aku pun tak kuasa menjawabnya. Bahkan, aku maju pun dengan kemantapan hati yang belum jua kokoh.
          Hanya satu yang ku pikir. Jika ingin mencari sebuah jalan, dan pemberi jalan itu telah membukakan sebuah pintu, tidakkah lebih baik jika di lalui? Karena yang aku tahu, aku sering menyesal saat berhubungan dengan ‘dia’, tapi tidak dengan ‘Dia’. Dan, masih dalam pencarian kemantapan pula langkah berikutnya ku tempuh, setelah aku mendapat info lengkap dengan calon pasangan itu. Hingga semua mengalir. Mulai dari shalat permohonan petunjuk dalam malam – malam sunyi, Benar-benar langkah tak terduga.
          Tiga tahun lebih ku habiskan tanpa hasil, yang jelas inilah yang ku temukan dari Sang Pemberi Petnjuk, Sang Pemberi Jalan Keluar itu. Tempatku Meminta dalam setiap sisi waktu hidupku. Benar saja, semua sungguh terasa kian nikmat, setelah nikmat sebelumnya di syukuri. Lihatlah dia, lihatlah orang yang kini leluasa berada disampingku, tanpa aku merasa perlu malu atau canggung. Lihatlah bagaimana dulu orang sibuk menasihatiku, saat aku mulai kembali berdekatan dengan ‘si dia yang lalu’.
          Malam – malam saat makan berdua, atau pagi sejuk yang di habiskan bersama, seolah tak mengenal masa kadaluarsa. Semua manis, hingga kedatangan waktu menunjukkan empat tahun lebih ini berlalu. Apakah ada penyesalan dengan hubungan yang lalu? Spontan hati akan menjawab ‘iya’. Namun, mengingat selalu ada hikmah dibalik setiap peristiwa, rasanya jawaban itu harus diralat. Tak bijak rasanya jika hanya mampu mencela, bahkan berkeinginan mengulangi masa lalu.
          Biarlah sisi positif itu tertinggal mendewasakan, tinggalkan sisi negatifnya dengan terus bercermin. Agar ia menjadi guru yang baik. Agar dia benar – benar menjadi ‘pengalaman’ untuk pembelajaran. Sehingga, dengan pengalaman itu pula, aku bisa belajar untuk membersamai pasangan hidupku ini. Yang dengan sadar, sering terbesit sebuah makna terangkai dosa, “Jika ia ingin hidup 100 tahun lagi, biarlah aku hidup 100 tahun kurang 1 hari, karena aku sudah merasa kesulitan berjalan tanpanya”, atau jika Sang pemberi Jalan itu mengizinkan, kiranya Dia berkenan memanggil kami untuk kembali pada-Nya, dalam kebersamaan, sebagai mana dulu Dia telah mempertemukan kami.
Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar