Cerita ini bukanlah
kisah sejatiku, aku hanya ingin menyampaikan sebuah ibrah dari pengalaman seseorang
yang pernah menceritakan kisahnya kepadaku, dan inilah kisah sejatinya:
Jodoh sungguh unik, jika tidak boleh dinyatakan sebagai misteri.
Ia memang hak prerogatif Sang Pencipta. Orang bisa menebak, dapat pula menolak,
tapi kadang hasilnya menjebak. Benci menjadi rindu, suka berbalik sembilu. Yang
dekat dan begitu lekat, terpisah karena kejadian sederhana. Yang jauh, baik dalam
jiwa maupun raganya, menyatu karena hal yang tak kalah sepele. Inilah jodoh,
pemberi makna pada kehidupan. Fenomenanya melahirkan cinta.
Kecintaannya menjadikan
langgengnya semangat setiap manusia. Selayakny asetiap orang belajar dari sang
guru dalam berinteraksi dengan jodoh. Guru yang disediakan – Nya terserak di
sekeliling. Guru yang terlampaui bersama waktu, dan asap baru terlihat setelah waktu
telah terlewat. Guru yang dikenal dengan nama lainnya, “pengalaman”. Sehingga,
orang tak lagi mudah memaksakan diri. Mencintai adalah fitrah. Mencintai adalah
hak insani.
Namun, memiliki
dan berjodoh, lain cerita, lain lagi jawabannya. Tiga tahun lebih kehidupanku terlewati
bersama pernik dosa. Dosa yang sering disusul dengan permohonan ampunan .Hanya sayangnya,
kembali terulang dan terulang. Semua bermula ketika mata tak sempurna terjaga. Pandangannya
sering nanar, mencari sesutu yang enak dilihat meski belum tepat dinikmati. Terlebih,
kadang diri lupa, di sekeliling kita banyak makhluk penggoda. Satu langkah keburukan,
bisa berwujud menjadi dua langkah, mengingat pihak di seberang sana juga tergoda
melakukan hal serupa.
Dapat pula satu
langkah itu menjadi sepuluh langkah, saat kaki kita berhasil di gelincirkan oleh
makhluk itu. Dan, tentu akan buruk lagi saat pihak yang sama juga mengalami hal
serupa. Kedekatan yang entah disengaja atau tidak ini membawa semuanya melangkah
lebih jauh. Sering berinteraksi menjadikan kemungkinan kedepan kian mengkhawatirkan.
Dari sekedar bertukaran catatan, sampai kadang timbul keinginan untuk berdua. Awalnya,
semua bisa ditepis. Apalagi kedekatan lawan jenis sebelum ijab Kabul terucap,
tidak ada dalam kamusku. Hanya seiring berjalannya waktu, pergerakan itu kian tak
terkendali.
Membuat tangis tak
sudah - sudah. Di satu sisi, mampu berdiri di podium mengingatkan sesuatu,
namun di sisi lain turut melnggarnya. Satu saat fasih bertutur pentingnya penjagaan
hati, tapi disisi lain turut mengotori. Tentu dalam kondisi tak nyaman ini, ada
langkah yang diambil. Tak putus – putus pula doa dipanjatkan. Agar lingkaran inis
egera putus, agar solusi itu segera terwujud. Namun, semua bukan tanpa penghalang.
Saat harapan itu akan terbit, muncul tantangan yang bagiku lebih mirip disebut hambatan.
Orangtua pihak perempuan
tidak melihat sisi ideal dalamdiri ini yang membuat mereka tenang mengamanahi putrinya.
Seolah menyisakan sebersit tanya, untuk apa aku kemudian berbuat sekeras ini?
Hhh…, entahlah!
Dalam asa yang nyaris putus, kembali Tanya terucap. Jalan mana lagi yang layak ditempuh? Melihat sekeliling, dan kembali terjebak dalam keruwetan yang sama? Ku rasa tidak. Melanjutkan langkah yang bahkan cahaya dalam ujung gelapnya tidak terlihat? Tampaknya juga bukan langkah yang bijak. Puncaknya, di tengah kegalauan dan tiadanya titik temu ini, keputusan bijak diambil oleh pihak ‘dia’. Selembar surat yang mengabarkan pernikahannya dengan seorang lelaki lain mendarat di jemariku.
Dalam asa yang nyaris putus, kembali Tanya terucap. Jalan mana lagi yang layak ditempuh? Melihat sekeliling, dan kembali terjebak dalam keruwetan yang sama? Ku rasa tidak. Melanjutkan langkah yang bahkan cahaya dalam ujung gelapnya tidak terlihat? Tampaknya juga bukan langkah yang bijak. Puncaknya, di tengah kegalauan dan tiadanya titik temu ini, keputusan bijak diambil oleh pihak ‘dia’. Selembar surat yang mengabarkan pernikahannya dengan seorang lelaki lain mendarat di jemariku.
Ada haru biru bermunculan,
ada perasaan campur aduk silih berganti. Akhirnya, derita tahunan dan rentanan dosa
ini akan segera berakhir. Karena memang betul, jika tidak di akhiri seperti ini,
peluang terulang itu tetap ada. Tapi, siapa yang tidak sedih, mengingat hati itu sempat tertahut?
Sebuah kelegaan yang teriring dengan kesempitan. Lalu, bagaimana denganku? Aku
pun ingin menikmati ketulusan cinta secara jantan, dalam cara yang halal. Dalam
bautan naungan kesucian pernikahan. Kini, aku nyaris menghadapi pepesan kosong.
Jika engaku dalam posisiku, yakinkah engkau jalan keluar itu ada? Lantas,
bagaimana seharusnya cara menempuhnya? Saat kondisi jiwa sudah seperti ini, dan
kini harus kembali mencari? Yang ada dalam benakku kala itu, hampir tidak terlihat.
Tapi, setiap orang berhak atas kesempatan kedua,
bukan? Berhak untuk mendapatkan jalan yang lebih baik. Dan, diam menunggu bukanlah
pilihannya. Ku coba berpikir dengan polapikir ‘aku’ di saat seperti ini. Jika ‘dia’ telah
menemukan jalannya, kenapa ‘aku’ tidak? Minimal, hikmah yang ku dapat dari semua
ini tampak pada persetujuan dan visi dari orangtuaku. Beliau berdua yang pada awalnya
berprinsip berbeda, hingga ku pahami, sebuah metode lain dalam mencari pasangan.
Prinsip utamanya
perkenalan sebelum dan sesudah pernikahan bukanlah hal yang sama. Seseorang
yang kita kenal baik sebelum pernikahan, belum tentu akan menjadi pasangan yang
baik sesudahnya. Logikanya mirip dengan dua orang yang merupakan kawan akrab,
belum tentu memiliki hubungan yang kompak saat berposisi sebagai rekan. Simpel dan
logis bukan?! Hanya, bisakah cinta di tempuh dengan jalan ini? Jika pertanyaan itu
di ajukan padaku kala itu, aku pun tak kuasa menjawabnya. Bahkan, aku maju pun
dengan kemantapan hati yang belum jua kokoh.
Hanya satu yang
ku pikir. Jika ingin mencari sebuah jalan, dan pemberi jalan itu telah membukakan
sebuah pintu, tidakkah lebih baik jika di lalui? Karena yang aku tahu, aku sering
menyesal saat berhubungan dengan ‘dia’, tapi tidak dengan ‘Dia’. Dan, masih dalam
pencarian kemantapan pula langkah berikutnya ku tempuh, setelah aku mendapat
info lengkap dengan calon pasangan itu. Hingga semua mengalir. Mulai dari shalat
permohonan petunjuk dalam malam – malam sunyi, Benar-benar langkah tak terduga.
Tiga tahun lebih
ku habiskan tanpa hasil, yang jelas inilah yang ku temukan dari Sang Pemberi Petnjuk,
Sang Pemberi Jalan Keluar itu. Tempatku Meminta dalam setiap sisi waktu hidupku.
Benar saja, semua sungguh terasa kian nikmat, setelah nikmat sebelumnya di syukuri.
Lihatlah dia, lihatlah orang yang kini leluasa berada disampingku, tanpa aku merasa
perlu malu atau canggung. Lihatlah bagaimana dulu orang sibuk menasihatiku,
saat aku mulai kembali berdekatan dengan ‘si dia yang lalu’.
Malam – malam saat
makan berdua, atau pagi sejuk yang di habiskan bersama, seolah tak mengenal masa
kadaluarsa. Semua manis, hingga kedatangan waktu menunjukkan empat tahun lebih ini
berlalu. Apakah ada penyesalan dengan hubungan yang lalu? Spontan hati akan menjawab
‘iya’. Namun, mengingat selalu ada hikmah dibalik setiap peristiwa, rasanya jawaban
itu harus diralat. Tak bijak rasanya jika hanya mampu mencela, bahkan berkeinginan
mengulangi masa lalu.
Biarlah sisi positif
itu tertinggal mendewasakan, tinggalkan sisi negatifnya dengan terus bercermin.
Agar ia menjadi guru yang baik. Agar dia benar – benar menjadi ‘pengalaman’
untuk pembelajaran. Sehingga, dengan pengalaman itu pula, aku bisa belajar untuk
membersamai pasangan hidupku ini. Yang dengan sadar, sering terbesit sebuah makna
terangkai dosa, “Jika ia ingin hidup 100 tahun lagi, biarlah aku hidup 100
tahun kurang 1 hari, karena aku sudah merasa kesulitan berjalan tanpanya”, atau
jika Sang pemberi Jalan itu mengizinkan, kiranya Dia berkenan memanggil kami
untuk kembali pada-Nya, dalam kebersamaan, sebagai mana dulu Dia telah mempertemukan
kami.
Amin.
Amin.