Waktu itu aku masih SMP, aku mengenalnya di suatu sore di
kegiatan ekstrakurikuler sekolah. Aku hanya diam memperhatikan sikapnya. Ingin
aku tau namanya, tapi malu. Entah kenapa rasa malu itu begitu kuat, padahal
hampir semua temanku sepakat kalau aku bukanlah pemalu ataupun pendiam. Karena
malu itu, akupun talkless, dan membiarkan teman –temanku yang mendekati dia.
Dari mereka aku tau namanya, dan aku tau sedikit karakternya. Dia baik, supel, senang
bercanda. Dia tergolong cewek manis, putih, dan banyak yang mengidolakan. Dari
teman seangkatan, adik kelas, maupun beda sekolah.
Tetapi dia
belum menemukan yang cocok. Berulang kali dia menjalin hubungan dengan cowok
yang menyukainya, tetapi dalam waktu dekat dia memutuskan hubungan. Entah
kenapa. Dan aku? Sebagai penonton dan pendengar. Ya, aku akui, aku pun seperti
mereka yang mengaguminya. Meski hanya dalam hati, tanpa pernah terungkapkan.
Karena ku sadar, aku bukan siapa-siapa. Aku takut, ketika aku mengungkapkan
rasa sukaku padanya, kemudian dia menolak lalu saling menjaga jarak. Ataupun
seandainya dia pun menyukaiku, lalu kami menjalin hubungan dan ada suatu
permasalahan yang mengharuskan kami putus, lalu saling menjaga jarak.
Tidak, aku tidak
ingin terjadi seperti itu. Maka, kupilih memendam saja rasa ini dan tetap
berteman biasa. Karena bagiku, tidak ada istilah putus untuk berteman. Tidak
ada kemungkinan menjaga jarak bagi hubungan pertemanan. Waktu-waktu yang
kulalui saat bersamaanya sungguh mengesankan. Meski mungkin bagi dia itu sutu
hal yang biasa tanpa kesan apapun. Belajar, bercanda, saling tukar pikiran.
Masih tersimpan di memori otak. Ketika dalam diam aku memandangnya, tanpa
pernah dia sadar. Ketika coba ku pancarkan sinyal positif padanya, tapi segera
aku tarik dan alihkan ke yang lain. Sungguh aku takut sampai dia menangkapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar